Minggu, 27 November 2011

Resensi Film Alangkah Lucunya Negeri Ini


Resensi Film

Jakarta – Dewasa ini muncul sebuah karya perfilman dengan judul Alangkah Lucunya Negeri atau ALNI yang memiliki kritik  pedas dan mendalam tentang  politik, agama, sosial dan pendidikan. Dengan latar belakang realita yang benar-benar terjadi di masyarakat, film tersebut sangat menyentuh  kondisi negara saat ini.
                Film ini disutradarai oleh Deddy Mizwar bekerjasama dengan seorang penulis bernama Musfar Yasin. Film tersebut sangat kental dengan perpanjangan ide anti – korupsi ‘Ketika’ dan semangat religius ‘Nagabonar jadi 2’.
                Film ini mengulas dengan detail kondisi yang terjadi pada negara ini. Kondisi tersebut benar-benar menyentuh bangsa ini seperti masalah pengganguran, kimiskinan, tempat tinggal yang tidak layak, dan masalah pendidikan. Masalah penggangguran dan kemiskinan digambarkan dalam film ini melalui peran seorang sarjana managemen yang bernama Muluk (Reza Rahadian) yang sedang mondar-mandir keluar masuk perusahaan untuk mencari pekerjaan, bersama Syamsul (Asrul Dahlan) seorang sarjana pendidikan yang setiap harinya menggangur  bermain kartu serta adik perempuan muluk yaitu Pipit (Tika Bravani) seorang penggaguran yang setiap harinya ia habiskan dengan mengikuti kuis di televisi. Sampai pada suatu saat, ketiga orang tersebut terpaksa bekerja bersama para pencopet untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi tempat tinggal dan pendidikan yang tidak layak juga diulas dalam film ini misalnya seorang anak-anak karena keterbatasan biaya mereka tidak bisa memperoleh pendidikan secara layak yang akhirnya sekelompok anak-anak tersebut memilih menjadi seorang pencopet dan hidup secara liar di sebuah bangunan kumuh.
                Film Alangkah lucunya negeri Ini juga mengajak Indonesia menertawakan “lucunya” ke-ironis-an diri sendiri yang terjadi di negeri ini. Keironisan tersebut digambarkan dengan peran seorang calon anggota legislatif yang lebih suka menonton screensaver akuarium  dan bermain pacman di dalam laptop seharga 15 juta. Serta kelakuan anggota satpol saat menangkap para pedagang kaki lima dan asongan di pinggir jalan.
                Dengan beberapa gaya bahasa dan sentilan pedas dari dialog yang ditampilkan dalam film ini, membuat para penonton hanyut dan larut dalam alur cerita film. Misalnya dialog yang dilontarkan antara muluk dan pencopet tersebut, yaitu “ mengapa mencopet, kalau butuh kan tinggal minta, seketika dengan jawaban yang ringan dilontarkan dari mulut pencopet tersebut yang bernama komet  “Saya pencopet, bukan peminta. Dengan pernyataan tersebut membuat muluk kaget dan menyentuh hatinya sehingga melepaskan pencopet tersebut.
                Sindiran demi sindiran sangat kuat mengalir dalam film ini. Sindiran masalah keadilan yang terjadi pada bangsa ini,diulas  saat adegan seorang Muluk (Reza Rahadian) ditangkap satpol pamong karena menyelamatkan mantan pencopet yang sedang beralih profesi menjadi pedagang asongan. Dan iringan lagu “tanah air” yang menjadi suara latar histeria dari anak-anak saat Muluk ditangkap oleh Satpol Pamong Praja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar